Skip to main content

Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme



A.      Intisari Buku
Bab I Pendahuluan
Konsepsi tentang manusia dalam filsafat merupakan suatu problem yang rumit dan terdapat bermacam-macam teori mengenai manusia. Salah satu sifat manusia yaitu refleksi diri dan keinsyafan diri. Keinsyafan diri atau refleksi diri merupakan sifat khas dari manusia sebagai suatu sistem kehidupan berpikir, cerdas, sadar secara moral, peka secara estetik dan cenderung ke arah rohani, yang dalam pengertian filsafati umumnya digolongkan dalam konsep tentang budi. Apabila lingkungn dari filsafat sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga unsur lain dari eksistensi manusiawi, yaitu seni, kepercayaan, dan ilmu sebagai sistemasi rangkaian konsep-konseop, maka mistisisme adalah suatu sistem yang berakar pada pengalaman mistik.

Ruang lingkup objek pengalaman mistik itu bersifat tersembunyi, hal-hal yang gaib, yaitu Tuhan yang transenden sehingga amat jauh dari inderawi dan rasio manusia. Intisari dari mistisisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu para pengikut mistik berusaha untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga ia berada di hadirat Tuhan melalui pengalaman spiritual. Dengan demikian, sesungguhnya pengalaman mistik itu pada dasarnya adalah bersifat agamawi.
Tasawuf sebagai ajaran, merupakan masalah eksklusif dan transkultural dalam Islam. Disebut demikian adalah karena masalah sufisme dalam tinjauan pruralitas ajaran Islam di masa Nabi tidak ada. Sufisme merupakan soal manusia dan hak asasi. Umat islam probematis, dialektis dan humanis. Menyangkut etos pandangan dan implikasinya pada pengahayatan mendalam kepada Tuhan.
Menjadi benang merah, bahwa dalam tatanan, adanya benang kusut permasalahan antara eksistensi(wujudiah insaniyah)  dan trensendensi (wujudiyah uluhiyah) dan kemudian tindakan simbolis, antara lain zikir dan meditasi dari seorang sufi dalam bentuk pengalaman yang tinggi (tubudiah al-fadilah)  untuk mencari intimitas dengan Tuhan.
Fitrah manusia adalah kesadaran dirinya sebagai bagian dari kesuluruhan sehingga ia harus menempatkan dirinya ke dalam keseluruhan itu. Dalam bab ini juga dijelaskan jika setiap agama dalam lingkungan manapun dan setiap aliran mistis semunya berawal dari satu konsep dan bertujuan untuk mencapai “sesuatu” yang asli dan final.

Bab II Orientasi dalam Tasawuf
Tasawuf sebagai salah satu tipe mistisisme, dalam bahasa inggris disebut sufisme. Kata tasawuf mulai diperbincangkan sebagai salah satu istilah sekitar akhir abad dua hijriyah yang dikaitkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Menghubungkan sufi atau tasawuf dengan shuff cukup relevan, dikarenakan diantara keduanya ada hubungan korelasi yakni antara jenis pakaian yang sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi. Cara hidup yang demikian oleh sekelompok orang islam itulah kemudian disebut sufi dan ajarannya disebut tasawuf. [1]
Berbagai istilah tasawuf disampaikan oleh para ahli baik dari orang-orang islam itu sendiri maupun dari para ahli bahasa. Namun dari semuanya dapat disimpulkan jika tasawuf bermakna moral dan semangat islam, karena seluruh ajaran islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.
Fase arketisme pada perkembangan tasawuf bertahan hingga abad kedua hijriyah selanjutnya pada abad ketiga terlihat adanya peralihan dari arketisme ke fase sufisme. Berikutnya yaitu fase ketiga yang ditandai dengan meneganggnya hubungan antara kaum orthodoks dengan kelompok sufi. Pada fase keempat yaitu ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.
Secara umum tujuan tasawuf menurut kaum sufi yaitu agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Tujuan tasawuf berdasarkan karakteristik yaitu 1) Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. 2) Tasawuf bertujuan untuk ma’rifatulloh melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyf al -hijab. 3) Tasawuf bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, terutama hubungan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.
Menurut landasan pikir kaum sufisme arti dekat dengan Allah dikelompokkan pada tiga konsepsi yaitu 1) melihat dan merasakan kehadiran Allah melalui mata hati yang menghasilkan ma’rifat al-Haqq. 2) perjumpaan langsung yang disebut secara simbolis anwar al-muwajahah yaitu kehadiran lahiriah Tuhan. 3) ijtihad atau “manunggaling kawala-gusti”, penyatuan manusia dengan Tuhan melalui fana.

Bab III Tasawuf Suni
Aliran tasawuf sufi yang paling terkenal adalah ajarannya. Dimana pada bab sebelumnya telah dibahas asketisme (zuhd) merupakan cikal bakal timbulnya tasawuf. Gerakan asketisme dibedakan kepada empat aliran yaitu aliran Basrah, Madinah, Kufah, dan Mesir. Ciri utama dari gerakan asketisme yaitu kekuatan dan kekhusukan beribadah kepada Allah, dzikirullah dan konsekuen serta konsisten dalam sikap walaupun datang berbagai godaan dari kehidupan duniawi. Bagi mereka, yang terpenting adalah mendekatkan diri kepada Allah seraya menjauhkan diri dari segala hal yang dapat mengurangi kekhusukan ibadahnya. [2]
Tasawuf sunni dibedakan menjadi dua yaitu tasawuf akhlaki dan tasawuf amali. Dimana tasawuf akhlaki memiliki ciri-ciri yaitu psikologis dan moral yaitu pembahasan
analisis tentang jiwa manusia dalam upaya menciptakan moral yang sempurna.

Bab IV Tasawuf Falsafi
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, menjadikan para pemikir muslim yang berlatarbelakang teologi dan filsafat tertarik untuk mengkaji keilmuan dalam tasawuf. Dengan adanya pemikiran tersebut maka hadirlah kelompok sufi yang filosofis atau filosof yang sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka inilah yang disebut dengan tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran. Ajaran filsafat yang paling banyak digunakan dalam analisis tasawuf adalah paham emanasi Neo-Platonisme dalam semua variannya.
Dalam perkembangannya, tasawuf serta tipologinya secara global dapat diformasikan adanya tiga konsepsi tentang Tuhan, yaitu : konsepsi etikal, konsepsi estetikal, dan konsepsi union mistikal. [3]

Bab V Tasawuf Filsafi Ibn Arabi
Ibn Arabi berasal dari bangsa arab yang serumpun dengan al-Hatimi yang pada umunya terdiri dari keluarga-keluarga saleh. Orang tuanya merupakan kaum sufi yang memiliki kebiasaan untuk berkelana untuk mempelajari hal-hal keislaman diantaranya adalah tasawuf. Ibn Arabi merupakan penulis yang produktif yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul diantaranya asli tulisan tangannya sendiri yan tersimpan di Perpustakaan Negara Mesir.
Pandangan epistemologi Ibn Arabi nampaknya berbeda dengan apa yang biasa dipahami dalam terminologi filsafat. Mistisme Ibn Arabi sebenaranya adalah muara filsafat mistisnya, sehingga epistemologinya harus diartikan sebagai teori tentang bagaimana ia memperoleh pengetahuan melalui mistiknya.
Ibn Arabi membedakan pengetahuan kepada dua tipe; pertama al-ma’rifat yang diartikan sebagai pengetahuan dengan pengenalan  yang secara eksklusif termasuk dalam jiwa, dan kedua al-ilm yang dia artikan sebagai pengetahuan intelek atau pemahaman luas. Untuk menejelaskan karakteristik dari masing-masing tipe pengetahuan tersebut dan bagaimana cara memperolehnya, Ibn arabi menjelaskan melalui diktrin teosofinya yang secara sistematis.
Kedua adalah proposisi kontingensi, yaitu penilaian-penilaian yang berdasarkan pemahaman dan indera-indera secara serempak. Apa yang di maksud dalam penilaian wajib adalah penilaian yang pada dasarnya benar, sedangkan penilaian kontingensi itu kadarnya relatif, bisa salah bisa benar.

Bab VI Tasawuf di Indonesia
Keberadaan tasawuf di Nusantara tidak terlepas dari pengkajian proses Islamisasi. Di Indonesia, tersebar luasnya agama Islam sebagian besar adalah karena jasa kaum sufi. Hal ini dapat dilihat dengan adanya penemuan naskah-naskah kuno yang berorientasi pada sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsur yang cukup dominan di masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain yaitu jika ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sampai pada masa Wali Sanga di Jawa. Kepemimpinan raja atau sultan pada masa itu selalu didampingi oleh ulama ahli tasawuf.
Aliran tasawuf di Indonesia dapat ditelusuri melalui konsep-konsep tasawuf yang berkembang pada kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Dari beberapa pendapat dan pandangan ulama muslim, aliran tasawuf yang berkembang di Nusantara meliputi tasawuf akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi. [4]

Bab VII Neo-Sufisme
Perkembangan ajaran sufisme berkembangan dengan pesat di era itu. Pesatnya perkembangan ajaran sufisme karena 3 faktor penting yaitu [5]: pertama, adalah karena gaya kehidupan yang glamor profanistik dan corak kehidupan materialistik-konsumeris yang diperagakan oleh sebagian besar penguasa negeri yang segera menuar di kalangan masyarakat.
Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal terhadap redikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulaan kekuasaan pada masa itu, menyebabkan orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dalam suasana kedamaian rohaniah dan keakraban cita sesama, terpaksa memilih sikap menjauhi kehidupan masyarakat damai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik.
Ketiga, faktor kodifikasi hukum Islam (fiqh) perumusan ilmu kalam (teologi) yang dialektis-rasional, sehingga kurang bermotivasi ethikal yang menyebabkan kehilangan nilai spiritualnya, menjadi semacam wahana tiada isi, semacam bentuk tanpa jiwa.
Pada massa sufisme orthodoks, terdapat beberapa ketegangan yang terjadi. Namun itu semua bukan semata-mata karena masalah sufisme atau karena perbedaan pemahaman agama, tetapi juga karena telah dicampuri kepentingan politik, yakni kaum Sunni dan kaum Syi’i. Oleh karenanya sufisme orthodoks yang dibawa oleh Harits al-Muhasibi seperti telah disebut terdahulu oleh kaum Syi’ah. Tujuan dari sufisme orthodoks adalah reaktualisasi paham salafiah dengan mengupayakan tegaknya kembali warisan kesalehan sufi terdahulu.  
Perkembangan yang berikutnya yaitu sufisme theosofi. Pada masa ini terlihat jika sufisme sebagai ilmu teoritis maupun praktis telah sampai pada tingkat kematangannya, yang ditandai dengan terpilahnya sufisme kepada dua aliran besar atau aliran induk, yakni sufisme sunni dan sufisme syi’i yang disebut dengan sufisme falsafi atau sufisme theosofi.
Hingga pada akhirnya perkembangan sufi berakhir pada tahap neosufime dalam buku ini dijelaskan jika pemikiran neo sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim kontemporer yakni Fazlur Rahman dalam buku “Islam”. Kemunculan ini tidak langsung diterima baik oleh pemikir muslim pada masa itu. Selain itu Hamka telah menyebutkan dalam buku tasawuf modern, kalau Al-Ghazali mensyaratkan ‘uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakihat, maka Hamka justru menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Perintis sebenarnya neo sufisme adalah Ibn Taimiyah yang kemudian diteruskan oleh muridnya Ibn Qoyyim, yaitu tipe tasawuf yang terintegrasi dengan syariah. Kebangkitan kembali sufisme di dunia Islam dikenal dengan sebutan neo-sufisme, hal ini tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama sebagai penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk era modernisme.[6]Modernisme dinilai gagal dalam memberikan kehidupan yang bermakna bagi manusia, karenanya orang kembali ke agama.

B.       Tanggapan Isi Buku
Pada buku Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme karangan Rivay Siregar telah memaparkan dengan detail sejarah perjalanan ilmu tasawuf dari konvensional ke zaman modern. Dalam buku tersebut dapat memaparkan materi secara rinci dan terdapat keterkaitan antara bab satu dengan bab yang lainnya. Dari segi konten, buku ini mampu menampilkan sesuatu yang sesuai dengan tujuan dari apa yang telah disampaikan penulis dalam tujuan yang terdapat dalam kata pengantar. Selain itu konten buku yang ditampilkan memiliki kesamaan dengan buku lain yang seirama. Misalnya dalam buku neo-sufisme karya Abdul Munir Mulkhan, yang sama-sama membahas peran hegenomi elite dalam perkembangan tasawuf neo-sufisme. Namun dalam buku Rivay Siregar tidak menampilkan secara lengkap hanya mengambil point pentingnya saja.
Dalam buku cakrawala tasawuf karya Khan Sahib K.K disebutkan jika tasawuf tidak terlepas dari mistisme, dimana mistisme yaitu mendapatkan iluminasi secara langsung tanpa dipengaruhi oleh bagian tertentu[7]. Hal ini sesuai dengan buku karya Rivay Siregar yang didalamnya juga membahasa tasawuf dan mistisme. 
Sedangkan dalam buku tasawuf dan perkembangannya dalam Islam karya Simuh, tujuan dari adanya tasawuf yaitu yang menjadi inti yang menjiwai seluruh aktifitas ketasawufan, yaitu keterbukaan tabir yang menutup alam ghaib dan wajah Tuhan, sehingga manusia bisa langsung menghayati alam ghaib dan ma’rifat pada wajah Tuhan. Adapun jalan tersebut disebut thariqah. [8]
 Dalam buku Neo Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan karya Abdul Munir Mulkhan dijelaskan bahwa dominasi elit lokal dalam aliran tasawuf menghasilkan lahirnya neo sufisme. Dominasi elit lokal tersebut memiliki kebebasan untuk menempatkan diri sebagai pemegang otoritas islam murni untuk melakukan ijtihad yang praktiknya bisa sangat pragmatis bagi kepentingan lembaga , kelompok atau diri elit yang bersangkutan itu sendiri[9]. Hal ini yang mengakibatkan ketegangan anatara aliran tasawuf sufisme yang telah dijelasakan dalam buku Tasawuf Dalam Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme karya Rifay Siregar.
Dari buku lain misalnya, buku karya Simuh yang berjudul Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, dalam buku ini membahas mengenai ajaran Al-Ghazali dalam ilmu tasawuf, namun dalam buku karya Simuh ini tidak menampilkan secara lengkap seperti dalam buku Rivay Siregar,
Dari segi bahasa yang digunakan dalam buku ini cenderung menggunakan bahasa indonesia yang terbilang lama, sehingga pembaca akan merasa kesulitan jika tidak mengkaitkan dengan konteks terkini. Namun meskipun demikian buku ini tetap dapat dipahami dengan baik apabila kita membacanya dengan seksama. Pemilihan bentuk huruf dalam buku ini cenderung ringan, artinya tidak membuat mata pembaca menjadi bosan dalam membacanya. Ukuran huruf yang digunakan sudah ideal untuk buku jenis ini, artinya ukuran huruf dari buku ini telah sesuai dengan standar dan tidak menjadikan mata pembaca menjadi cepat lelah. Dari segi tata letak, karena buku ini terbilang buku bacaan berat, maka buku ini telah tepat menggunakan tata letak yang demikian.
Dari segi cover, buku ini mampu menarik pembacanya dikarenakan jika pembaca melihat cover ini dengan ukuran judul yang cukup jelas maka pembaca akan melihat untuk kedua kalinya untuk dibaca. Dengan warna cover yang merah menambah kesan tersendiri dari buku ini.
Dihalaman sampul yang paling akhir dari buku ini telah menampilkan sedikit cuplikan dari konten buku ini, namun dari segi materi cuplikan tersebut belum mampu mewakili seluruh konten yang ada dalam buku ini. Selain itu pemilihan warna huruf hitam yang dibubuhkan dalam cover yang berwarna merah menjadikan tulisan yang ditampilkan suslit untuk dibaca dan dipahami.




[1] Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.31
[2]Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.70
[3] Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.141
[4] Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 227
[5] Ibid, 233
[6] Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.248
[7] Khan Sahib K.K, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta : Raja Wali Press, 1993), hlm. 155
[8] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 32
[9] Abdul Munir Mulkan, Neo Sufisme Dan Pudarnya Fundamentalisme Di Pedesaan, (Yogyakarta:UII Pres, 2000 ), Hlm 197.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Lempeng Bumi dapat Bergerak ?

Lempeng tektonik dapat bergerak karena kepadatan relatif litosfer samudera dan karakter astenosfer yang relatif lemah. Pelepasan panas dari mantel sebagai sumber asli dari energi yang menggerakkan lempeng tektonik. kelebihan kepadatan litosfer samudera yang membuatnya menyusup ke bawah di zona subduksi adalah sumber terkuat pergerakan lempengan. Pada waktu pembentukannya, litosfer samudera pada mulanya memiliki kepadatan yang lebih rendah dari astenosfer di sekitarnya, tetapi kepadatan ini meningkat seiring dengan penuaan karena terjadinya pendinginan ( cooling down ) dan penebalan. Besarnya kepadatan litosfer yang lama relatif terhadap astenosfer di bawahnya memungkinkan terjadinya penyusupan ke mantel yang dalam di zona subduksi sehingga menjadi sumber sebagian besar kekuatan penggerak-pergerakan lempengan. Kelemahan astenosfer memungkinkan lempengan untuk bergerak secara mudah menuju ke arah zona subduksi.  Dengan ketebalan yang semakin meningkat lempeng ini tenggelam ke dalam...

Pendekatan dan Metode Dalam Pengajaran Remedial

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Peserta didik   adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan informal, pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik merupakan tunas penerus bangsa yang tentunya memerlukan pendidikan yang berkualitas. Dalam pendidikan, pendidik harus mampu memahami kharakteristik dari peserta didik, agar pendidik dapat memilih metode apa yang akan digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Metode yang tepat akan menjadikan kegiatan belajar mengajar menjadi berarti dan tepat sasaran kepada peserta didik, serta sesuai dengan tujuan umum belajar yaitu usaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Prosedur Pelaksanaan Remedial Teaching

Pelaksanaan remedial teaching merupakan salah satu bentuk bimbingan belajar yang dapat dilaksanakan melalui prosedur sebagai berikut: 1.       Penelaah kasus kembali dan permasalahannya. Meneliti kasus dengan permasalahannya sebagai titik tolak kegiatan-kegiatan berikutnya. Tujuan penelitian kembali kasus adalah agar memperoleh gambaran yang jelas mengenai permasalahan tersebut, serta cara dan kemungkinan pemecahannya. Berdasarkan penelitian kasus akan dapat di tentukan siswa-siswa yang perlu mendapatkan remedial teaching. Dengan adanya Remedial Teaching, pendidik dapat mengetahui: